“Aku Ingin Berdoa”

Ada saat dimana aku merasa;
Dari 24/7 hidupku, 20 jam nya adalah kemuakkan.
Mendengar omongan orang-orang yang bagiku lebih kepada umpatan.
Kepada siapa aku harus bercerita?

Kepada hujan?
Tapi setelah hujan berhenti,
ada yang lebih indah daripadanya sehingga kupasti tak akan betah lama-lama mencumbunya; pelangi.

Kepada matahari?
Tapi matahari seringkali mengingkari janji untuk tetap indah
sampai senja tenggelam, seringkali biasnya terhalang awan.

Kepada angin?
Seperti halnya rindu; angin hanya bisa kurasakan namun tak bisa kusentuh.
Lalu, haruskah aku pergi bersama ke-abstrakkan yang bahkan untuk
menikmati visualnya saja aku tak bisa?

Aku lelah berbagi cerita dengan seonggok daging bernama manusia.
Aku rindu cicitan burung gereja menyambut pagi.
Mengepakkan sayap menuju harapan di langit lepas.
Aku ingin hanyut bersama tumpukan novel cinta dan secangkir kopi hangat. Melawan deretan manusia yang seringkali memperdebatkan masalah agama.

Kalian yang menyebut diri sebagai manusia;
Pernahkah kalian mencari jawaban atas segala kekhawatiran?
Aku ingin sendiri saja, menikmati keresahan dalam balutan kedamaian.

-L

Manusia, pada dasarnya adalah makhluk berakal budi yang mampu menguasai makhluk lain. Tapi pernahkah kita merasa, kalau kehadiran manusia menjadi semakin tidak sesuai dengan fungsinya. Seperti yang kubilang di atas tadi, bahwa kadang aku merasa kalau dari 24/7 hidupku, 20 jamnya adalah kemuakkan. Beberapa kelompok masyarakat terlalu banyak berkomentar tanpa mempedulikan etika dan dengan siapa mereka bicara. Perasaan sang lawan bicara, kadang tak diperhatikan. Simpati. Ya, manusia sekarang seperti kehilangan yang namanya jiwa simpati.

Katanya, Indonesia negara majemuk, yang terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, maupun aliran kepercayaan yang dimana kemajemukan dalam wujud Bhinneka Tunggal Ika ini merupakan kekayaan yang harus dipelihara? Seorang guru agama di sekolah menengah pertamaku dulu pernah men-cap temanku yang lahir dari pernikahan beda agama sebagai ‘anak haram’, dengan dalih pernikahan yang dilakukan dengan pasangan yang tidak seiman adalah haram, maka bisa dipastikan bahwa anak yang lahir dari pernikahan tersebut adalah anak haram. Ilmu yang ingin dia sampaikan, tersampaikan dengan jelas kepada murid-muridnya, bahkan sangat jelas. Tapi, pernahkah berpikir tentang beban moral yang harus ditanggung sang anak? Rasa malu, dicap sebagai anak haram? Dimana, remaja lain seusianya sedang menikmati masa peralihan dari remaja menuju dewasa dengan tertawa lepas tanpa beban.

Aku ingin siapapun yang membaca tulisan ini, melihat tidak dari sudut pandang agama, tapi lebih kepada sudut pandang kemanusiaan. Sejatinya, mengajarkan dalam kebaikan pun punya norma dan etika penyampaiannya sendiri. Aku kadang tidak paham, bagaimana bisa seseorang ‘membungkus’ cemoohannya dalam sebuah lawakan yang dia anggap lucu. Padahal, itu memuakkan bagi beberapa pihak. Pertanyaannya sekarang, mana yang harus disalahkan….. Orangtua berbeda agama tapi selalu mengajarkan anaknya dalam bersikap dan ber-etika, atau orangtua satu agama yang bahkan melarang untuk tidak menghina agama oranglain saja tidak bisa? Sekali lagi, aku bicara dalam sudut pandang kemanusiaan, Kawan. Ilmu agamaku tidak banyak sehingga aku tidak berani memperdebatkannya dengan kalian.

Lalu, bagaimana cara seorang anak mendoakan orangtuanya yang tidak seiman, jika dalam mengucapkan selamat di hari rayanya saja selalu diperdebatkan? Aku sering mendengar orang bicara bahwa, “Agamaku ya agamaku, agamamu ya agamamu. Urus saja kepentinganmu sendiri, karena neraka dan surgaku itu bukan urusanmu.” Lantas, pantaskah kita menghakimi keyakinan oranglain, ketika surga saja belum tentu jadi tempat kita nanti?

Catatan: Penulis hanya menuangkan keresahan dalam bentuk tulisan ini tanpa menyudutkan pihak manapun. Maaf bila tidak berkenan.

Teks: Lisa Lusmedya