Es Krim Pelangi Yang Tersohor

Salah satu akun Instagram yang ikut bersuka cita atas legalnya pernikahan sesama jenis di AS. (Sumber: Instagram)

Salah satu akun Instagram yang ikut bersuka cita atas legalnya pernikahan sesama jenis di AS. (Sumber: Instagram)

Ada pelangi di matamu… Untuk sebagian orang mungkin saja kalimat itu merupakan pujian atau rayuan gombal yang diberikan kepada lawan jenisnya. Tapi apabila ditelisik kembali, pelangi ini bermakna ganda. Ungkapan pelangi dalam kalimat tersebut atau lebih tepatnya lirik lagu dari band Jamrud, ditujukan untuk merayu sang kekasih. Nah, dan untuk sebagian orang lagi, pelangi merupakan simbol bagi mereka. Ya, simbol GLBT.

Apa itu GLBT? Itu adalah singkatan dari Gay, Lesbian, Biseksual & Transgender/ Transeksual. Pelangi sudah menjadi simbol bagi mereka sejak pecahnya pawai gay ke jalanan di San Francisco, Amerika Serikat pada 25 Juni 1978.

Bendera pelangi dirancang oleh Gilbert Baker asal San Francisco di tahun 1978 dan pertama kali bendera ini diciptakan yaitu di California. Akan tetapi versi bendera saat ini sudah mengalami beberapa kali perubahan dikarenakan harus disesuaikan dengan ketersediaan kain yang ada dan kini, bendera pelangi digunakan diseluruh dunia.

Jadi sejarahnya tuh gini, bendera pelangi yang pertama dibuat dengan tangan (pencelupan warna) oleh Gilbert Baker. Bendera itu pertama kali dikibarkan dalam pawai gay San Francisco. Menurut kabar, Gilbert terinspirasi oleh lagu Judy Garland (ikon gay) berjudul Over The Rainbow.

Spekulasi lain menyebut warna pelangi terinspirasi oleh warna bendera perdamaian antara ras (terdiri dari warna merah, hitam, coklat, kuning dan putih). Diduga Gilbert meminjam ide dari bendera ini saat kaum hippy sibuk memperjuangkan perdamaian. Menariknya, tokoh hippy yang terkenal saat itu adalah Allen Ginsberg, yang juga seorang gay.

Tapi sebenarnya bendera pelangi ini bukan hanya dijadikan simbol untuk mereka GLBT, berbagai komunitas dunia sepanjang sejarah sudah lebih dulu memakai pelangi sebagai lambang keragaman, juga harapan. Sebagai contoh:

  • Tokoh reformasi kristen: Thomas Müntzer (1489-1525) mengibarkan bendera pelangi di tangannya saat berceramah religi. Pelangi disebutnya sebagai lambang janji Tuhan saat Nuh selamat dari banjir bah.
  • Tahun 1961, Rabu Zalman Schachter-Shalomi membuat selendang doa (tallit) bermotif pelangi sebagai simbol Kabalah untuk anggota-anggota Bene Ohr (Anak-Anak Cahaya).
  • Pelangi juga melambangkan ajaran Budha dan didesain pertama kali di Sri Lanka pada tahun 1885. Bendera itu diadopsi sebagai bendera resmi World Fellowship of Buddhists untuk mempersatukan keragaman dan perbedaan ajaran-ajaran Budha di bumi. (sumber: disini)

Mengapa harus simbol pelangi? Itu pertanyaannya walaupun diatas tadi menjelaskan asal usul si bendera pelangi. Apa yang penulis tangkap mungkin sehabis hujan disatu waktu yang indah akan muncul pelangi. Selama ini hubungan mereka selalu dihujani hujatan dan penolakan. Sampai pada akhirnya ketetapan resmi pengakuan mereka adalah matahari yang mampu melahirkan pelangi yang bisa diartikan kesabaran dan kegigihan mereka membuahkan hasil dari musim hujan yang mereka selalu lalui saat ini. Pelangi adalah satu awal kehidupan yang indah setelah penuh kesabaran.

Oke, teruntuk saudara-saudaraku yang mungkin selalu merasa digurui ketika diberikan ayat Al-Qur’an, kini, GAY dijelaskan secara SEUTUHNYA MANUSIA.

GAY RIGHT atau sebuah movement yang mengedepankan pernikahan sesama jenis, belum lama ini telah diresmikan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat di Washington, Amerika Serikat. Selain gay, lesbi pun turut andil. Kini, Amerika Serikat resmi menjadi negara ke 18 sebagai negara yang melegalkan pernikahan sesama jenis!! Pathetic.

Secara manusiawi, manusia ingin memiliki regenerasi. Melalui pernikahan yang halal kita akan mendapatkan keturunan. Keturunan atau buah hati didapatkan dari rahim wanita yang telah dibuahi oleh sperma mahkota indah lelaki. Terbayang jika pernikahan sesama jenis terjadi? Selain itu, tidak terbayang penyakit kelamin yang dihasilkan komunikan dan komunikator dalam konteks hubungan antar kelamin.

Sebagian berpendapat, HALO LOE DI INDONESIA NGAPAIN NGURUS YANG BEGINIAN DAN PERESMIAN ITU ADA DI AMERIKA.

Pernyataan yang baik saudaraku, karena memang kita harus berpikir tentang lingkungan terdekat dulu.

Akun instagram yang pro dengan kebijakan pemerintah AS

Akun instagram yang pro dengan kebijakan pemerintah AS

Hebatnya lagi, beberapa jejaring sosial nampak PRO dengan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah AS ini dengan menambahkan simbol pelangi seperti Instagram dan WordPress. Tidak kalah ramai, lini masa Twitter dipenuhi dengan tagat #LoveWins karya mereka para pecinta pelangi.

Lini masa Twitter dengan tagar #LoveWins. Terdapat pula beberapa gedung mempunyai ornamen Pelangi sebagai tanda sukacitanya dengan kebijakan pemerintah AS. (Sumber: Twitter)

Lini masa Twitter dengan tagar #LoveWins. Terdapat pula beberapa gedung mempunyai ornamen Pelangi sebagai tanda sukacitanya dengan kebijakan pemerintah AS. (Sumber: Twitter)

Tahu Amerika Serikat? Negara Adidaya, bahkan mata uang kita pun bergantung pada AS. Apalagi yang bergantung? Gaya hidup? Melalui kebijakan legalisasi pernikahan sesama jenis di Washington, akan mendorong jaringan GAY RIGHT lainnya di seluruh negara.

YAUDAH SIH HAK-HAK MEREKA MAU NIKAH SESAMA JENIS.

Iya ketika tidak menimpa sebagian keluarga kita, kita akan selalu berpandangan seperti itu, nah kalau sudah menimpa salah satu anggota keluarga? Masih mau bilang itu hak mereka?

Bagi kalian para kaum muslim, tidakkah kalian ingat cerita para nabi yang diceritakan oleh guru agama ketika kita SD? Ketika itu Nabi Luth AS ditugaskan oleh Alloh SWT untuk mengubah perilaku warga Kota Sadom yang tercela karena menyukai sesama jenis. Dan tahukah kalian saudaraku apa yang terjadi? Ya, tentu saja Alloh melaknat mereka semua dengan gempa dahsyat dan hujan batu sampai mereka terbenam seperti matahari senja.

Kalaupun dijelaskan lebih rinci lagi, seakan-akan manusia dibuat lebih kejam bagi mereka-mereka kaum GLBT. Gak habis pikir… Tuhan… Apakah “rasa” yang seperti ini yang kau berikan pada mereka? Rasa untuk mencintai sesama?! Atau mungkin mereka mendistorsi karunia-Mu untuk bisa mencintai sesama?! Siasat para setan selalu berhasil hinggap dalam diri manusia yang kosong.

Tidak inginkah mereka melestarikan peradaban cinta lawan jenis?! Kita harus tahu bahwa keturunan itu perlu. Setidaknya buat menikmati alam dunia seperti ayah dan bundanya dan keturunan hanya bisa didapat ketika sang pria mencelupkan pusaka sakti madragunanya ke dalam sebuah kawasan indah milik lawan jenisnya. REGENERASI DEMI GENERASI YANG LEBIH BAIK.

Kalau sesama jenis diperbolehkan, apa kabarnya regenerasi demi generasi yang lebih baik? Hehehe

Apapun namanya, mereka mengatasnamakan cinta dan kemanusiaan untuk pembenaran serta merusak iman. Bisa saja ini merupakan konspirasi agama untuk menjatuhkan dan menghancurkan agama lainnya, dengan kejadian seperti ini pasti akan menimbulkan pro-kontra dalam sebuah agama. Dan mereka menertawai perpecahan agama tersebut karena rencananya… Berhasil, berhasil, berhasil, hore…

Masih ragu kebijakan itu tidak akan sampai ke Indonesia? Mari kita lihat 10-20 tahun ke depan. Seketika itu juga lantunan Bunga… Bunga… berubah menjadi Pelangi… Pelangi…

Teks:
Virdy Abdussalam Delaellyrosa
Vici Muhammad Fauzi
Syifa Luthfiati
Abdurrahman Mushaddiq
Deo Rizky Kurnianto
Amagistya Rymada

Foto: Kharinnika

Libur Telah Tiba, Tasya Sudah Besar

Setelah lulus SMA, mau pada kemana? lanjut kuliah atau kerja dulu? atau menikmati dulu kehidupan hakikatnya berlibur sepanjang masa versi anak muda parlente.

Sebagian dan tidak sedikit, menurut banyak berbincang kemara dan kemari, akang dan teteh di luar sana enggan masuk kuliah karena ospeknya yang (katanya) terlalu kejam bagi mereka. Tak sedikit pula yang merasa tangguh menghadapi ospek mahasiswa di perguruan tinggi (red: punya kenalan senior, nepotisme sosial, dan atas nama ‘abang’).

Heran, kenapa banyak yang masih takut sama ospekan mahasiswa? apa karena media televisi 2009 silam memberitakan salah satu perguruan tinggi di Sumedang yang menewaskan beberapa calon mahasiswanya dan ditemukan pula jenazah di belakang halaman asrama tersebut?

Dan, apakah karena maraknya video ospekan di lini masa Yusup? Yusup Kosasih? Kowilah?. Sehingga memberangus mental anak muda kebanggaan kita semua.

Ospek, dari kaca mata ‘senior’, merasa sebelumnya pernah mengalami hal serupa dan pada akhirnya mendapatkan jatah untuk ‘balas dendam’ kepada adik-adiknya yang menumbalkan diri menjadi santapan pagi hingga sore. Sang senior mengatakan bahwa ospek adalah pembentukkan mental junior jika nanti berhadapan dengan dosen, tugas-tugas kuliah, dan dunia kerja. Maksudnya, agar mahasiswa terbiasa dengan tekanan saat bekerja.

Ospek, dari kaca mata ‘junior’, merasa tidak diperlakukan manusiawi, merasa disudutkan, dan semua yang dikatakannya selalu salah. Maka tidak heran ada hukum universal di kalangan mahasiswa bahwa senior selalu benar tanpa terkecuali. Kecuali, bagi senior dan junior yang berorientasi pada JODOH. Mungkin mereka-mereka akan lebih arif dalam menjalankan ospek, karena tahu benar apa yang sebenarnya dituju sehingga terkadang lupa akan rangkaian acara ospek.

Menurut pengalaman saya saat menjadi junior, memang rasa malas menyeruak dalam tubuh sehingga ragu untuk mennginjakkan kaki ke ruang terbuka penuh amarah KOMDIS (komisi disiplin) atau senior yang divisinya khusus marah-marah. Rasanya, pemimpin komdis itu seorang Hitler yang didatangi ibu kos menagih tunggakan. Tak banyak bicara, akhirnya dengan terpaksa memakai topeng mahasiswa baru siap tempur walaupun bertahan.

Menurut pengalaman saya saat menjadi senior, melihat mahasiswa baru memang mengingatkan saya dahulu saat menjadi junior. Ketika harus marah, rasa tidak tega menyelimuti. Tapi, tidak pada junior yang selalu mengatasnamakan senior. Itu, adalah bibit atau calon pengisi kursi pemerintahan, instansi, dan lembaga resmi lainnya yang mengandalkan otot tanpa otak sedikitpun, yang berprestasi karena membawa nama seseorang tanpa intelektual yang jelas.

Sebagian berpendapat, ospek dengan gaya lama (perploncoan) tidak membentuk karakter seseorang dan tidak memanusiakan manusia. Kurang mendidik untuk beradaptasi dengan norma dan nilai yang telah terkemuka di dalam masyarakat. Tidak memperhatikan estetika seorang akademisi, dan kurang mengindahkan biaya ospek karena setiap mahasiswa adalah titipan dan orang tua kepada pihak perguruan tinggi.

Sebagian berpendapat, ospek dengan gaya baru (seminar, simulasi dunia kerja, dan senang-senang) kurang membentuk mental baja seorang calon mahasiswa baru. Kurang ada sense of belonging antara junior dan senior (moal aya picaritaeun engke jang budak). Kurang ada kemistri antar sesama MABA (sama-sama disudutkan oleh senior).

Sudah menjadi hal yang lazim, ketika para junior ini mulai naik tingkat atau tepatnya sudah menempuh 2 semester perkuliahan, bersemangat untuk mengikuti kepanitiaan ospek junior yang baru (MABA). Tentunya dilandasi dengan keinginan yang menggebu-gebu untuk melakukan ‘balas dendam’. “Hahaha sekarang giliran aing yang ngospek”, kurang lebih seperti itu kalimat yang terbesit dalam pikiran junior yang naik tingkat menjadi senior.

Inilah yang seharusnya diubah, bukan balas dendam. Tapi menjadi pengabdian. Walaupun sebenarnya perbedaan itu sangat tipis. Dengan kata ‘pengabdian’ mungkin saja mindset ospek tentang apa kata orang menjadi makna yang positif. Bukan hanya mengandalkan urat tenggorokan yang perlu digurah agar terdengar sangar.

Rantai ini sudah sangat sulit dihentikan terlebih dari yang mempunyai wewenang pun (fakultas atau universitas) tidak mempunyai dan membuat kebijakan yang baru untuk mengatasi keabu-abuan sebuah ospek. Ospek ini seakan menjadi tak bermanfaat ketika sudah selesai dijalaninya, ibarat menulis dikertas menggunakan pensil yang belum diserut. Hampa bos…

Pada akhirnya semua itu pilihan, atau punya gebrakan baru tentang materi ospek, mengaplikasikannya, dan tanpa mengurangi nilai-nilai senior yang dapat dipetik. Kita hanya bisa melihatnya hasil ‘didikan’ sepuluh atau duapuluh tahun ke depan.

SEE YOU ON TOP

Teks: Vici Muhammad Fauzi / Virdy Abdussalam Delaellyrosa

Khuldi, Klakson, dan Kejuaraan

Konflik, secara sosiologis, suatu interaksi yang melibatkan dua pihak saling menjatuhkan dengan tujuan saling menghancurkan satu sama lain. Mengapa? Karena perbedaan adat, budaya, pengetahuan, status sosial, agama, negara, wilayah, dan berbagai perbedaan lainnya.

Tapi, jika iblis tidak menjebak Adam untuk memakan buah khuldi, maka tidak akan terjadi peradaban sampai saat ini. Dia (konflik) akan selalu mewarnai hamparan langit, darat, dan laut. Bagi sang bijak, konflik akan menjadi modal untuk memulai harmonis antar manusia. Tapi bagi sang antagonis akut, konflik menjadi instrumen untuk menggapai tujuannya (kepuasan hakiki).

Mari kita menengok tuan antagonis akut. Jalan tengah, bukan caranya untuk menyelesaikan masalah. Dia cenderung menggunakan masalah untuk mengatasi masalah. Dengan memasang taring paling tajam, siap menggerus lawannya. Berbeda dengan sang bijak, selalu mencari jalan tengah dan lebih memilih mengalah jika kebetulan bertemu tuan antagonis akut.

Masalah, akar dari konflik, jika akar tumbuhan kecil maka sangat mudah ditebang. Sebaliknya, jika akar besar seperti pohon beringin berumur puluhan tahun, sangat sukar ditebang bahkan dilindungi oleh manusia.

Kepentingan, menjadi pupuk alami untuk menghasilkan tumbuhan kejayaan jabatan dan harta. Mulai dari niat manusia metropolis hendak pergi ke sekolah, kampus, kantor, kurir logistik, dan yang hanya menikmati udara monoksida. Semua kepentingan itu berkumpul dalam satu area aspal berwarna merah atau dikenal Ruang Henti Khusus (RHK). Per-kepala memiliki kepentingan berbeda, saat kepentingannya merasa dihalangi (10 detik menuju lampu hijau) jeritan hak mereka disampaikan melalui suara klakson 7 oktaf. Memang, nada klakson jika ditempatkan pada padatnya lalu lintas akan menjadi sapaan antagonis. Berbeda dengan klakson untuk menyapa dan pamit kepada keluarga, teman, dan rekan kerja.

Bentuk kecil saling tabrakan kepentingan itu baru terjadi di lalu lalang kendaraan kreditan. Belum pada pemerkosa definisi politik dan agama. Keduanya, berkoalisi pada sektor lainnya seperti ekonomi, sosial, budaya, bahkan olahraga. Inilah negeri kami sobat, bak Yerusalem, kicauan perbedaan menjadi lahan basah komoditas komunikasi politik bukan pada esensi pesannya. Semoga di antara kita masih banyak individu yang tak luntur melanjutkan kehidupan gotong royong dalam bertetangga. Karena itu, adalah modal menjaga keteguhan hidup beragama, berbangsa, dan bernegara. Semoga semua gerakan kiri dan kanan meluntur dari oposisi hingga menjadi asosiasi. Kenyataan itu berpotensi ada, tumbuh kembang di tengah perhelatan manusia yang hampir melebihi Tuhannya. Semoga lulusan mahasiswa hukum menjadi ujung tombak supremasi. Semua tak akan menjadi utopia, perlahan, proses yang panjang. Jangan tanya entah kapan. Saya, kita, kami, anda akan menjadi contoh generasi buah hati saat ini yang tumbuh dewasa menginjak kehidupan yang menghamparkan hakikatnya.

Jika kau tidak tersenyum, black coffee atau cappuccino?

Teks: Vici Muhammad Fauzi
Foto: Vici Muhammad Fauzi

Posted from WordPress for Android

Kami Yang Termarjinalkan

Negara Republik Indonesia, sebuah kedaulatan yang berada di wilayah Asia Tenggara. Sebagian besar wilayah Indonesia adalah lautan karena Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari ribuan pulau. Begitu pula dengan suku bangsanya, banyak sekali suku bangsa yang terdapat dalam wilayah-wilayah Indonesia ini. Sehingga, mereka-mereka yang berjuang iuntuk memerdekakan negara ini sepakat untuk membuat semboyan Bangsa Indonesia yaitu, “Bhinneka Tunggal Ika” yang artinya “berbeda-beda tetapi tetap satu”.

Dan kini, Indonesia masuk peringkat 5 Besar Dunia tepatnya peringkat ke 4 sebagai negara dengan penduduk terbanyak di dunia dengan jumlah 253.60-juta jiwa (Sumber: Biro Sensus, Menteri Perdagangan AS Tahun 2014 via detik.com). Dengan berkembangnya populasi, maka sektor ekonomi juga ikut berkembang. Indonesia menjadi salah satu dari beberapa negara yang menyandang predikat “negara berkembang”. Hal ini menyebabkan pembangunan infrastruktur di kota-kota besar semakin merajalela, tapi pembangunan di daerah-daerah kecil dan terpencil sangat tertinggal.

Ada hal yang mencolok dari pembangunan ini yaitu, pelebaran jalan raya yang memakan trotoar (jalan untuk pejalan kaki)!!! Empunya negara beserta jajarannya sibuk untuk mengatasi dan mengakali kemacetan tapi tanpa berpikir bagaimana memberi kenyamanan bagi kami para pejalan kaki?! Tidakkah itu arogan, manusia tidak diperdulikan dan lebih memperdulikan mesin rongsok yang menimbulkan polusi! Harga kami (manusia) melebihi mereka (kendaraan bermotor) dan bisa dibilang kami manusia tidak bisa dihargai dengan mudahnya!

Apa kita sebagai manusia tidak merasa malu ketika manusia yang lainnya tidak memperdulikan fasilitas untuk kita pakai? Tengok Inggris, baru-baru ini membentuk sebuah jalur atau jalan untuk dilalui para bebek disekitar bantaran sungai! Sampai seperti itunya orang-orang di sana memperdulikan makhluk hidup yang bukan manusia saja. Apa yang sebenarnya terjadi di negara ini?! Jalan pejalan kaki dibuat hancur dan tak bertahan lama, alhasil kami meraba jalan raya dipinggiran dengan harapan tidak ada yang menyenggol kami dari belakang.

Pedestrian, semua orang ingin. Tapi, sifat latah kita untuk memiliki kendaraan tak terbendung. Andaikan, kredit murah motor tidak ada, semua orang bisa saja menggunakan angkutan umum. Tapi ternyata, pejalan kaki tidak ingin menumpangnya karena angkutan umum rawan kejahatan.

Pemegang kekuasaan sepenuhnya ada pada masyarakat. Apa jadinya kebijakan tanpa target? Apa jadinya peraturan tanpa masyarakat? Apa jadinya visi dan misi capim tanpa rakyat?. Mengingat semua berpangku pada rakyat, dan karena terlebih sudah terlanjur kita terbuai oleh praktisnya kendaraan pribadi, maka norma sosial di sini berlaku. Artinya, saling menghargai eksistensi agar mencapai esensi yang maksudnya saling menghargai antara pengendara motor/mobil pribadi dan pejalan kaki untuk mencapai sebuah sirkulasi harmonisasi hubungan seutuhnya manusia(tanpa faksi).

Tuhan… Jalan raya dibuat dari uang yang kami bayar dalam bentuk pajak, tapi mengapa tidak ada wacana untuk melakukan pelebaran jalan trotoar? Itu bukan hal yang mainstream loh! Berandai-andai saja, jikalau pemerintah lebih memperhatikan pejalan kaki dengan dibuatkan fasilitas-fasilitas termutakhir, mungkin saja mereka yang menggunakan kendaraan bermotor akan meninggalkan mesin rongsok tersebut untuk memulai berjalan kaki.

Masih mungkin terjadi, tidak ada salahnya berharap walaupun segelintir orang sudah trauma dengan harapan.

Teks: Virdy Abdussalam / Vici Muhammad Fauzi

Foto: Vici Muhammad Fauzi

“Aku Ingin Berdoa”

Ada saat dimana aku merasa;
Dari 24/7 hidupku, 20 jam nya adalah kemuakkan.
Mendengar omongan orang-orang yang bagiku lebih kepada umpatan.
Kepada siapa aku harus bercerita?

Kepada hujan?
Tapi setelah hujan berhenti,
ada yang lebih indah daripadanya sehingga kupasti tak akan betah lama-lama mencumbunya; pelangi.

Kepada matahari?
Tapi matahari seringkali mengingkari janji untuk tetap indah
sampai senja tenggelam, seringkali biasnya terhalang awan.

Kepada angin?
Seperti halnya rindu; angin hanya bisa kurasakan namun tak bisa kusentuh.
Lalu, haruskah aku pergi bersama ke-abstrakkan yang bahkan untuk
menikmati visualnya saja aku tak bisa?

Aku lelah berbagi cerita dengan seonggok daging bernama manusia.
Aku rindu cicitan burung gereja menyambut pagi.
Mengepakkan sayap menuju harapan di langit lepas.
Aku ingin hanyut bersama tumpukan novel cinta dan secangkir kopi hangat. Melawan deretan manusia yang seringkali memperdebatkan masalah agama.

Kalian yang menyebut diri sebagai manusia;
Pernahkah kalian mencari jawaban atas segala kekhawatiran?
Aku ingin sendiri saja, menikmati keresahan dalam balutan kedamaian.

-L

Manusia, pada dasarnya adalah makhluk berakal budi yang mampu menguasai makhluk lain. Tapi pernahkah kita merasa, kalau kehadiran manusia menjadi semakin tidak sesuai dengan fungsinya. Seperti yang kubilang di atas tadi, bahwa kadang aku merasa kalau dari 24/7 hidupku, 20 jamnya adalah kemuakkan. Beberapa kelompok masyarakat terlalu banyak berkomentar tanpa mempedulikan etika dan dengan siapa mereka bicara. Perasaan sang lawan bicara, kadang tak diperhatikan. Simpati. Ya, manusia sekarang seperti kehilangan yang namanya jiwa simpati.

Katanya, Indonesia negara majemuk, yang terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, maupun aliran kepercayaan yang dimana kemajemukan dalam wujud Bhinneka Tunggal Ika ini merupakan kekayaan yang harus dipelihara? Seorang guru agama di sekolah menengah pertamaku dulu pernah men-cap temanku yang lahir dari pernikahan beda agama sebagai ‘anak haram’, dengan dalih pernikahan yang dilakukan dengan pasangan yang tidak seiman adalah haram, maka bisa dipastikan bahwa anak yang lahir dari pernikahan tersebut adalah anak haram. Ilmu yang ingin dia sampaikan, tersampaikan dengan jelas kepada murid-muridnya, bahkan sangat jelas. Tapi, pernahkah berpikir tentang beban moral yang harus ditanggung sang anak? Rasa malu, dicap sebagai anak haram? Dimana, remaja lain seusianya sedang menikmati masa peralihan dari remaja menuju dewasa dengan tertawa lepas tanpa beban.

Aku ingin siapapun yang membaca tulisan ini, melihat tidak dari sudut pandang agama, tapi lebih kepada sudut pandang kemanusiaan. Sejatinya, mengajarkan dalam kebaikan pun punya norma dan etika penyampaiannya sendiri. Aku kadang tidak paham, bagaimana bisa seseorang ‘membungkus’ cemoohannya dalam sebuah lawakan yang dia anggap lucu. Padahal, itu memuakkan bagi beberapa pihak. Pertanyaannya sekarang, mana yang harus disalahkan….. Orangtua berbeda agama tapi selalu mengajarkan anaknya dalam bersikap dan ber-etika, atau orangtua satu agama yang bahkan melarang untuk tidak menghina agama oranglain saja tidak bisa? Sekali lagi, aku bicara dalam sudut pandang kemanusiaan, Kawan. Ilmu agamaku tidak banyak sehingga aku tidak berani memperdebatkannya dengan kalian.

Lalu, bagaimana cara seorang anak mendoakan orangtuanya yang tidak seiman, jika dalam mengucapkan selamat di hari rayanya saja selalu diperdebatkan? Aku sering mendengar orang bicara bahwa, “Agamaku ya agamaku, agamamu ya agamamu. Urus saja kepentinganmu sendiri, karena neraka dan surgaku itu bukan urusanmu.” Lantas, pantaskah kita menghakimi keyakinan oranglain, ketika surga saja belum tentu jadi tempat kita nanti?

Catatan: Penulis hanya menuangkan keresahan dalam bentuk tulisan ini tanpa menyudutkan pihak manapun. Maaf bila tidak berkenan.

Teks: Lisa Lusmedya

Melintasi Nirwana

Ilustrasi (sumber: https://google.com)

(Ilustrasi, sumber: https://google.com)

Tak bisa dipungkiri lagi kita sebagai manusia hanyalah bagian terkecil dalam tata surya ini. Bisa dibilang lebih kecil dari ukuran nano. Tapi tanpa disadari manusia seakan-akan menjadi “Rajanya Dunia” ketika salah satu dari mereka berhasil membuat perubahan pada lingkungannya -entah itu berskala besar atau kecil sekalipun-. Tujuan hidup manusia pun tidak luput dari perubahan yang “dikemudikan” oleh segelintir manusia yang merasa sudah berhasil dan salahnya lagi mereka (yang dikemudikan) meng-iya-kan hal tersebut untuk menjadi tujuan hidupnya.

Apakah manusia diciptakan untuk menjadi makhluk yang homogen? Jikalau seperti itu, mengapa penampakan kami sangat berbeda dengan manusia A, B, C, dst. Karena ini bukan sekedar hidup untuk mencari keberhasilan atau kesuksesan, melainkan kenikmatan hidup yang hakiki, bagaimana cara kita menjalani hidup dengan elemen-elemen semesta yang ada untuk kita nikmati.

Manusia memiliki banyak jalan untuk menjalani hidupnya, tapi mengapa hanya jalan yang ramai saja yang dipilih oleh kebanyakan manusia? Apakah jalan yang sepi tidak akan membawa kenikmatan hidup? Tentu saja itu anggapan yang salah! Sebagai contoh, ketika daun-daun mulai berguguran dari batang pohon yang terkena hembusan angin, apakah daun-daun tersebut memilih untuk jatuh didekat pohon tersebut? Atau memilih jatuh jauh dari pohon? Tidak seperti itu juga, karena sejujurnya daun-daun yang berguguran ini tidak tahu kapan mereka akan menjatuhkan tubuhnya dan di mana tubuhnya akan terjatuh. Daun-daun ini menikmati alur hembusan angin yang membawanya mengawang-awang di udara.

Bisakah hal tersebut terjadi pada kita manusia? Pertanyaan yang bodoh. Manusia bisa tahu kapan akan menjatuhkan tubuhnya dan di mana tubuhnya akan terjatuh. Percayalah, esensi dari kenikmatan hidup setiap individu itu berbeda. Jangan terlalu dipikirkan jika esensi kau dan dia berbeda karena kita diciptakan untuk berbeda. Berbeda untuk melengkapi satu dan yang lainnya agar bisa menikmati hidup yang hakiki.

Teks & Foto: Virdy Abdussalam Delaellyrosa

Dilematika Speaker Masjid

foto diambil di Kampung Cijati, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat

(Illustrasi) foto diambil di Kampung Cijati, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat.

Imbauan perihal penggunaan speaker masjid oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, mengundang tanggapan pro dan kontra. Wajar, imbauan tersebut sedikit mengiris hati umat Islam yang ada di Indonesia, namun di sisi lain ada kelegaan tersendiri bagi warga lainnya yang merasa terganggu dengan kebisingan suara kaset orang yang sedang mengaji pada malam hari atau pada siang bolong.

Imbauan wapres kepada seluruh DKM agar membatasi speaker masjid memang sedang menjadi perbincangan hangat di media, baik media sosial maupun media mainstream. Disini saya akan sedikit membahas mengenai pro dan kontra yang saya amati dari berbagai perbincangan di media, khususnya media sosial.

Pro: Bagi kalangan yang setuju dengan imbauan ini, tentu saja merekalah yang sedikit terganggu oleh polusi suara yang ditimbulkan dari speaker masjid yangg menyetel kaset orang yang sedang mengaji di siang bolong maupun di tengah malam. Mereka beranggapan, bahwa seharusnya speaker mesjid itu difungsikan sebagai mana mestinya, yaitu untuk Adzan. Banyak orang menyayangkan penggunaan speaker masjid yang disalahgunakan. Selain menyetel kaset orang yang sedang mengaji, speaker masjid di beberapa daerah juga sering digunakan untuk pengumuman yang bersifat pribadi, seperti undangan rapat RW ataupun sejenisnya. Bagi orang-orang yang terganggu dengan suara speaker masjid yg disalahgunakan, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya bisa menggerutu dan menelan dalam-dalam kekesalan mereka dalam hati. Hal ini, dikarenakan suara tersebut berasal dari masjid, tempat suci yang digunakan umat islam untuk melakukan ibadah. Untuk menegur atau memprotes kepada pihak Dewan Keluarga Masjid (DKM) atas perilakunya ini menjadi hal yang sangat tabu.

Kontra : Sudah dipastikan, mereka yang kontra terhadap imbauan wapres ini adalah yang berprofesi sebagai ulama. Bukan menyudutkan, tetapi pada kenyataannya seperti itu. Mereka menganggap bahwa dengan menyetel kaset orang yang sedang mengaji merupakan salah satu penyampaian kebaikan secara global. Memang tidak dipungkiri, bahwa Al-Quran itu adalah pedoman umat manusia, bagi yang mempercayainya. Pada dasarnya isi Al-Quran memang menyerukan kebaikan. Dengan disetelnya kaset orang yang sedang mengaji diharapkan akan membawa kebaikan bagi para pendengarnya.

Dari dua pendapat yang disampaikan di atas mari sejenak kita berpikir dengan pikiran yang sejuk, dengan kepala dingin kita simpulkan beberapa kesimpulan.
Intinya orang-orang yang merasa terganggu oleh polusi suara yang ditimbulkan oleh speaker masjid pada waktu-waktu tertentu, mereka menginginkan agar digunakan sebagai mana mestinya, yaitu untuk Adzan. Sementara bagi yang kontra terhadap imbauan tersebut mereka menginginkan agar mereka yang mendengarkannya mendapat kebaikan.

Opini penulis singkat saja, bukankah berbuat kebaikan harus disampaikan dengan cara yang baik pula? Jika banyak yang merasa terganggu, apakah sudah menyampaikan kebaikan dengan cara yang baik?

Untuk itu, sebaiknya speaker masjid digunakan dalam waktu-waktu tertentu saja agar tidak mengganggu kenyamanan banyak orang dengan polusi suara yang ditimbulkan. Jikalau ingin mengaji-pun, mengajilah secara langsung, tidak usah menggunakan rekaman orang yang sedang mengaji.

Catatan: tidak menyudutkan pada pihak manapun, penulis hanya menggambarkan fakta serta beropini. Maaf bila kurang berkenan.

Teks: Abdurrahman Mushaddiq

Foto: Vici Muhammad Fauzi

Evolusi Peka Luka

Ilustrasi

Foto: Ilustrasi

Kalau kita termasuk manusia yang masih percaya bahwa hati adalah tempat paling suci untuk berpikir dan berintrospeksi, aku ingin mengajak kalian untuk bersama-sama menyelam ke dalam kesunyian pikiran.

Setujukah kalau aku bilang bahwa anak-anak Indonesia terutama anak-anak yang tumbuh di kota, kini sudah terlampau dewasa? Apakah anak-anak sedang mengalami evolusi yang mengubah hati mereka menjadi lebih peka terhadap luka?

Evolusi?
Ilmu biologi, mengatakan bahwa evolusi adalah perubahan pada sifat-sifat yang terwariskan. Kebanyakan ilmuwan percaya bahwa seleksi alam adalah penyebab terkuatnya. Namun, ilmu sosial memiliki pengertian tersendiri terhadap evolusi. Menurut Mr. Sosial, evolusi adalah perubahan sosial yang terjadi secara lambat, perlahan, dan merupakan rentetan perubahan kecil yang saling mengikuti.

Kembali ke masalah utama mengenai sebuah evolusi yang mengubah hati anak-anak menjadi lebih peka terhadap luka. Menurutku, anak-anak kita sekarang sedang dalam bahaya. Mereka sudah terlampau serius. Walau bukan berarti mereka tidak bahagia tetap saja ada perasaan yang memilukan hati ketika melihat mereka tertawa. Sedari dini mereka akrab dengan kompleksnya cerita cinta remaja dan dewasa. Telinga mereka dihajar dengan syair-syair tentang selingkuh, luka, pacar, jadian, kecewa, dan sebagainya. Bibir kecil mereka begitu fasih berdendang lagu asmara. Kebanyakan dari mereka mungkin tak kenal dengan lagu seperti “Libur Telah Tiba” milik Tasya Kamila atau “Obok-Obok” punya Joshua Suherman.

Dengan demikian, tak heran mereka semakin cepat mengenal apa itu sakit hati, pengkhianatan, dan juga betapa kecewanya ketika ditinggalkan seseorang. Hati mereka begitu cepat mengenal luka. Bukankah seharusnya mereka hanya tau tentang liburan, jalan-jalan, dan bermain bersama teman? Bukan berarti mereka tak boleh berkembang, tapi bukankah semua ada waktunya? Mereka akan tumbuh dewasa dengan sendirinya. Dan masa anak-anak adalah masa untuk bersenang-senang. Masa dimana canda terlaksana tanpa dilema. Masa dimana tawa tak harus dengan terpaksa.

Selain lagu anak yang tenggelam di dasar laut industri.Tontonan televisi yang anak-anak konsumsi dewasa ini  menurutku banyak mempengaruhi. Sinema televisi dan info-info selebriti secara konstan menjejali mereka dengan kompleksnya asmara kaum Adam dan Hawa.

Asmara bukan canda, asmara bukan taman bermain, dan asmara juga bukan boneka. Dia sesuatu yang serius. Tak usah dulu mereka mengerti, dewasa akan menghampiri dan mereka akan mengerti sendiri.

Dan kita semua tau pikiran anak-anak selain berfungsi sebagai penyimpan memori nan sakti juga berfungsi sebagai pembentuk kepribadian. Sekarang pikiran mereka banyak terjajal dengan permainan yang mengharuskan pemenang untuk “menghancurkan” lawan.

Wajar saja kalau mereka kini begitu banyak yang dewasa sebelum waktunya. Mungkin saja karena sudah mengenal asmara, banyak dari mereka yang nurut-nurut saja ketika dibujuk orang dewasa untuk memuaskan nafsu seksualnya. Atau mungkin saja banyaknya kasus “bully” karena mereka punya anggapan bahwa mereka bisa berkuasa ketika menang dalam adu kekerasan.

Aku ingin anakku, anakmu, dan anak kita bisa menikmati masa kecilnya. Biarkan mereka tertawa dan bercanda sesuai umur dan pandangannya terhadap dunia. Aku ingin mereka tak cepat mengenal luka.

Dan semoga evolusi anak-anak yang lebih peka terhadap luka hanya argumenku saja. Semoga kita bisa membantu mereka merebut kembali masa anak-anaknya. Semoga mereka melewati masa anak-anaknya tanpa banyak prasangka dan dilema asmara. Semoga anak-anak tetap tumbuh sewajarnya. Dan semoga masa anak-anak adalah masa yang akan mereka rindukan ketika dewasa.

“Children aren’t coloring books. You don’t get to fill them with your favorite colors” -Khaled Hosseini

Teks: Deo Rizky Kurnianto

Foto: Vici Muhammad Fauzi

Introduction

Meta Nalar. Semua bidang keilmuan, berbagi tulisan dalam pesan damai. Prioritas kritik menjadi bahan diskusi. Bagi siapapun, silahkan kirim tulisan ke metanalar@gmail.com

Selamat menjadi manusia seutuhnya.

Mahasiswa Jurnalistik