Khuldi, Klakson, dan Kejuaraan

Konflik, secara sosiologis, suatu interaksi yang melibatkan dua pihak saling menjatuhkan dengan tujuan saling menghancurkan satu sama lain. Mengapa? Karena perbedaan adat, budaya, pengetahuan, status sosial, agama, negara, wilayah, dan berbagai perbedaan lainnya.

Tapi, jika iblis tidak menjebak Adam untuk memakan buah khuldi, maka tidak akan terjadi peradaban sampai saat ini. Dia (konflik) akan selalu mewarnai hamparan langit, darat, dan laut. Bagi sang bijak, konflik akan menjadi modal untuk memulai harmonis antar manusia. Tapi bagi sang antagonis akut, konflik menjadi instrumen untuk menggapai tujuannya (kepuasan hakiki).

Mari kita menengok tuan antagonis akut. Jalan tengah, bukan caranya untuk menyelesaikan masalah. Dia cenderung menggunakan masalah untuk mengatasi masalah. Dengan memasang taring paling tajam, siap menggerus lawannya. Berbeda dengan sang bijak, selalu mencari jalan tengah dan lebih memilih mengalah jika kebetulan bertemu tuan antagonis akut.

Masalah, akar dari konflik, jika akar tumbuhan kecil maka sangat mudah ditebang. Sebaliknya, jika akar besar seperti pohon beringin berumur puluhan tahun, sangat sukar ditebang bahkan dilindungi oleh manusia.

Kepentingan, menjadi pupuk alami untuk menghasilkan tumbuhan kejayaan jabatan dan harta. Mulai dari niat manusia metropolis hendak pergi ke sekolah, kampus, kantor, kurir logistik, dan yang hanya menikmati udara monoksida. Semua kepentingan itu berkumpul dalam satu area aspal berwarna merah atau dikenal Ruang Henti Khusus (RHK). Per-kepala memiliki kepentingan berbeda, saat kepentingannya merasa dihalangi (10 detik menuju lampu hijau) jeritan hak mereka disampaikan melalui suara klakson 7 oktaf. Memang, nada klakson jika ditempatkan pada padatnya lalu lintas akan menjadi sapaan antagonis. Berbeda dengan klakson untuk menyapa dan pamit kepada keluarga, teman, dan rekan kerja.

Bentuk kecil saling tabrakan kepentingan itu baru terjadi di lalu lalang kendaraan kreditan. Belum pada pemerkosa definisi politik dan agama. Keduanya, berkoalisi pada sektor lainnya seperti ekonomi, sosial, budaya, bahkan olahraga. Inilah negeri kami sobat, bak Yerusalem, kicauan perbedaan menjadi lahan basah komoditas komunikasi politik bukan pada esensi pesannya. Semoga di antara kita masih banyak individu yang tak luntur melanjutkan kehidupan gotong royong dalam bertetangga. Karena itu, adalah modal menjaga keteguhan hidup beragama, berbangsa, dan bernegara. Semoga semua gerakan kiri dan kanan meluntur dari oposisi hingga menjadi asosiasi. Kenyataan itu berpotensi ada, tumbuh kembang di tengah perhelatan manusia yang hampir melebihi Tuhannya. Semoga lulusan mahasiswa hukum menjadi ujung tombak supremasi. Semua tak akan menjadi utopia, perlahan, proses yang panjang. Jangan tanya entah kapan. Saya, kita, kami, anda akan menjadi contoh generasi buah hati saat ini yang tumbuh dewasa menginjak kehidupan yang menghamparkan hakikatnya.

Jika kau tidak tersenyum, black coffee atau cappuccino?

Teks: Vici Muhammad Fauzi
Foto: Vici Muhammad Fauzi

Posted from WordPress for Android